Senin, 10 Maret 2008

BUSUNG LAPAR atau BUSUNG DADA????


Jagalah kebersihan!"(Catatan ringan jelang Pilgub NTT)
Oleh Steph Tupeng WitinRohaniwan,
peminat masalah sosial politik. Tinggal di Maumere

GENDERANG pemilihan Gubernur NTT telah ditabuh pada 15 Februari 2008 lalu. Kampanye pilgub belum lagi mulai. Nama-nama pasangan mulai diumumkan ke tengah publik. Kampanye media telah lama berlangsung. Beberapa calon bahkan sudah lama 'berani' menghadirkan dirinya melalui kartu nama, kartu ucapan, iklan visi-misi, kalender, aktivitas sosial kemasyarakatan maupun safari 'sekenanya.' Kalangan pers dan intelektual menggagas diskusi politik untuk membuka diskursus pemahaman publik untuk terlibat aktif dalam ranah politik-demokrasi. Saat ini NTT bagai gadis cantik yang tengah dirias untuk segera memasuki 'pelaminan demokrasi' Juni 2008. Beberapa kabupaten tengah membenahi 'wajahnya' menjelang digelarnya momen pemilihan kepala daerah secara langsung. Sudut-sudut kota, desa dan kampung diseraki gambar para calon bupati maupun gubernur dalam beragam gaya dan ukuran. Wajah para kandidat tampak begitu akrab dengan keseharian rakyat yang sahaja : di kamar pribadi, kantor, meja kerja, kaca mobil, tanki motor, dinding perahu/kapal motor, terminal, batang pohon, ruang tunggu, bahkan di pintu kamar WC sekalipun!Penulis memiliki pengalaman kecil saat berada di kamar WC rumah makan Bethania di Wolowaru, Kabupaten Ende, Flores. Setiap pengunjung kamar WC laki-laki nomor ketiga akan menyaksikan gambar dua kandidat Gubernur NTT yaitu Wagub Frans Lebu Raya yang diusung PDIP dan anggota DPR RI, Viktor Bungtilu Laiskodat, kandidat yang 'diandalkan' Partai Golkar yang dipasang berdampingan di pintu dalam. Frans Lebu Raya di sebelah kiri dan Viktor Bungtilu Laiskodat di sebelah kanan. Keduanya tampak sedang tersenyum. Viktor sedikit bebas, sedangkan Lebu Raya tampak kaku, terkesan 'dipaksakan.' Boleh jadi gambar Wagub NTT ini diambil dalam keadaan lelah-letih setelah 'bersafari' mengelilingi NTT. Hal yang lebih menarik bagi penulis adalah bahwa di tengah-tengah potret kedua calon Gubernur NTT 2008 itu tertera tulisan dengan huruf besar dan ditimpali dengan nada yang sangat familiar bagi setiap pengunjung 'kamar kecil' itu yaitu 'Jagalah Kebersihan!" Siapa pun yang masuk ke ruangan kecil itu dan meletakkan pantatnya di atas pot WC pasti akan menumbukkan matanya pada deretan kata-kata itu. Tulisan itu mengingatkan setiap pengunjung untuk tidak boleh lupa membersihkan sarana yang telah ia pakai untuk menyalurkan sampah tubuhnya. Peringatan itu melecut kesadaran pemakai bahwa setelah itu masih ada begitu banyak orang yang akan 'duduk' seperti dia. Kata-kata itu menarik perhatian penulis justru karena kehadiran potret kedua calon Gubernur NTT itu yang diprediksikan akan bersaing ketat dalam pilgub yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Di titik inilah tulisan ini menemukan ruang pemaknaannya yang intens. Sebuah 'renungan' ringan dan jenaka yang mengiringi khalayak rakyat NTT untuk memasuki relung-relung politik dan demokrasi. Penulis berpikir bahwa pilkada pertama Gubernur NTT merupakan sebuah ruang politik yang terlalu mahal untuk dicederai dengan aneka tindakan anarkis dan represip. Pilkada juga menjadi sebuah momen bagi rakyat NTT untuk menentukan sosok 'pemimpin sebagai pelayan' yang mengandung di dalamnya keberanian untuk memihak rakyat, komitmen untuk bersama rakyat dan kesahajaan kehendak untuk membangun NTT ini menjadi sebuah 'rumah bersama' yang sehat. Ikhtiar untuk menjadikan NTT ini sebuah ôrumah bersamaö yang sehat terinspirir oleh tulisan sarat makna yang terpampang pada pintu kamar WC di Wolowaru, Ende, Flores itu. "Rumah bersama" yang sehat sebagai cita-cita mesti dibangun dalam bingkai 'yang bersih.' Kebersihan adalah pangkal kesehatan. Rancangan bangunan 'rumah bersama' itu mengandaikan proses dan elemen-elemen yang terlibat itu secara riil itu bersih, murni dan berkualitas. Pertama, para calon pemimpin NTT mesti tahu diri : apakah dia 'bersih' atau tidak. Ideal ini agaknya diragukan karena proses perekrutan calon adalah wewenang parpol yang juga pantas untuk diragukan 'kebersihannya.' Parpol-parpol selama ini hanyalah kendaraan 'sementara' untuk menuju pintu gerbang kekuasaan (eksekutif/legislatif). Kita jarang memiliki kader partai berkualitas dan militan yang setia berjuang untuk rakyat seperti Bung Kanis Pari dan Simon Hayon (Bupati Flotim). Kita lebih kerap mendengar : pungut uang, kejar proyek, saling jegal, cari muka dan rebut nomor urut. Entah benar atau tidak tapi sinyalemen yang beredar adalah bahwa uang menjadi salah satu syarat penting meski dalam kenyataan menjadi satu-satunya syarat utama. Politisi yang tidak beruang, bersiap-siaplah untuk didepak dari ruang pertarungan pilgub. Politisi senior Golkar, Sarwono Kusumaatmadja, membuktikan ini saat 'terlibat sementara' dalam Pilgub DKI Jaya beberapa waktu lalu. Menurutnya, urusan partai bukan soal mendidik kader partai untuk berbicara tentang kehidupan rakyat, melainkan 'omong siapa dapat apa, duitnya berapa, siapa jadi menteri, siapa duta besar, berapa data perusahaan yang bisa ditekan. Semua karena duit. Dia punya duit, maka jadi calon nomor satu' (TEMPO, 17/6/2007). Di sini kita tertegun. Apakah kita masih bisa berharap bahwa di tengah moralitas politisi dan parpol yang 'bobrok' ini bisa lahir sosok pemimpin yang 'bersih?' Sosok pemimpin yang lahir dari parpol yang mata duitan hampir pasti akan melahirkan pemimpin yang mendatangkan cerita nestapa bagi nusa NTT. Pemimpin model ini akan mengisi masa pengabdiannya dengan intensi agar sedapat mungkin uang yang telah ia keluarkan kembali lagi. Jika kita memilih dia, kita sebenarnya tengah menjerumuskan dia dalam liang penjara korupsi. Kita akan mengakhiri sisa hidupnya dengan cerita yang lazim bagi pejabat : sakit-sakitan, stroke, kursi roda, dan mati mendadak. Kedua, para calon yang maju harus benar-benar mengenal diri. Pengenalan diri akan menerbitkan kepantasan diri untuk maju. Keberanian boleh-boleh saja tapi ingatlah dengan usia. Propinsi NTT membutuhkan sosok pemimpin yang berenergi ekstra untuk merancang pembangunan. Terkait ini, rakyat NTT mesti memilih pemimpin yang memiliki integritas kepribadian yang baik. Janganlah memilih pemimpin yang hanya menjadi tameng untuk menutupi kasus-kasus korupsi yang selama ini mengambang pada dahan kekuasaan politik. Pengenalan diri juga terkait dengan keberanian politik untuk memberantas kasus-kasus korupsi, merombak struktur birokrasi yang mapan, membangun berorientasi rakyat, tidak gampang menjual NTT kepada investor yang serakah dan hanya menjadi 'pion pemerintah pusat' yang gagap dan loyo. Ketiga, rakyat NTT harus memilih pemimpinnya secara rasional. Sosok, kiprah, kinerja, sepak terjang, moralitas sosial, dan kepemimpinan harus dibuka ke tengah publik NTT. Kita tidak memilih pemimpin yang dibungkus dalam karung goni. Rakyat jangan menyerahkan daerah ini kepada tangan pemimpin bergaya preman : mengandalkan uang, dikelilingi bodyguard, membayar penjahat dan hampir pasti merampok keringat rakyat. Di titik ini kita butuhkan pers yang independen untuk menyebarkan informasi tentang para calon kepada publik secara benar dan bertanggung jawab. Pers yang gampang dibeli, muncul dadakan, kaget-kagetan dan musim-musiman sesungguhnya sedang membawa daerah ini menuju kehancuran. Keempat, pilgub kali ini digelar secara langsung untuk pertama kali. Rakyat secara bebas dan bertanggung jawab memilih pemimpinnya. Selama masa kampanye, para jurkam, tim sukses dan calon pilgub akan menjadi sangat akrab dan familiar dengan rakyat. Senyum akan senantiasa menghiasi wajah mereka. Peredaran uang dalam bentuk sumbangan, titipan kilat dan sebentuk kemurahan hati akan bergulir dengan deras. Tapi pilihan tidak boleh dipengaruhi oleh iming-iming apa pun. Relasi emosional, hubungan kekeluargaan, darah atau pun sejenisnya tidak boleh mengarahkan kita untuk salah memilih. Suasana damai penuh kekeluargaan mesti dijaga selama berlangsungnya masa-masa kampanye. Materi kampanye mesti membuka wawasan dan kesadaran rasional rakyat NTT untuk menentukan pilihan secara tepat sebagai pintu gerbang untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah ini. Hindarkan materi kampanye murahan yang hanya mengaduk-aduk emosi rakyat. Rakyat NTT yang majemuk ini tidak membutuhkan sosok pemimpin yang lahir dari tangis, air mata dan tumpahan darah rakyatnya. Pemimpin yang muncul di atas kursi nomor satu NTT mestinya lahir dari kesederhanaan rakyat, kerasnya beban hidup, keringat perjuangan dan komitmen untuk benar-benar mengabdi dan melayani rakyat. Kita harapkan agar pemimpin yang lahir nanti mempersatukan, mempersaudarakan dan merangkul seluruh rakyat dalam rencana pembangunan yang lahir dari kebutuhan, suara dan aspirasi rakyat. Berkas-berkas gagasan ini lahir dari sebuah cita-cita : menjadikan momen pemilihan Gubernur NTT sebagai saat dan ruang untuk melahirkan sebuah proses menuju terpilihnya sosok pemimpin yang 'bersih.' Proses pilgub yang 'bersih' akan melahirkan sosok pemimpin yang 'bersih.' Sosok pemimpin yang bersih akan membangun daerah ini dengan 'bersih.' Proses pembangunan yang dilaksanakan dengan 'bersih' akan memungkinkan daerah ini menjadi 'sehat' secara rohani dan jasmani. Pemimpin yang 'sehat', yang lahir dari proses pembangunan yang 'bersih' akan menyiapkan proses pilgub berikutnya dengan 'bersih'. Pilgub yang dinodai dengan aneka tindakan kejahatan, kekerasan dan kebengisan akan menjerembabkan daerah ini ke dalam lembah kehancuran yang lebih menyakitkan. Maka, marilah kita 'jaga kebersihan' proses pemilihan gubernur kita dengan rasional, benar, jujur, adil dan bertanggung jawab. Inilah tugas kita hari-hari ini.


Komentar Web Organizer :

Sehat spirituil,sehat ilmu dan pengetahuan dan sehat secara sosial. USIA bukan USAI untuk BERNUBUAT-BERBUAT dan BERBUAH untuk NTT.Kita hendaknya tidak menghakimi masa depan kita sendiri.Busung lapar hendaknya bukan busung dada

Tidak ada komentar: