Selasa, 18 Maret 2008

GIZI BURUK KUBUR DALAM-DALAM

Gizi buruk dan 'lost generation
'Oleh : Fidel Hardjo-
Alumnus STFK Ledalero, kini staf Televisi TBN of Asia, tinggal di Manila.
-"It is better to be a cow in Europe than to be a poor person in a developing country", (Stiglitz, 2006:85).
KORBAN gizi buruk di NTT kembali merenggut lima balita di Rote Ndao (Kompas, 7/3/2008). Hati kita serentak tergugah, terengah lalu terhanyut hilang. Ketika korban berikutnya muncul dan muncul lagi, reaksi kita tetap sama: tergugah - terengah - terhanyut hilang. Reaksi dan cara kita sudah menjadi rutinitas sekenanya saja. Tanpa disadari korban terus berjatuhan, tolong jangan dianggap angin lalu saja! Ini penyakit serius yang men-trigger lost generation baru kita. Kita menghitung jumlah korban tak ubahnya menghitung biji kelereng. Bayangkan, tahun 2005 sebanyak 66.685 balita di NTT mengalami gangguan gizi (Pos Kupang, 10/3/2008). Setiap tahun angka korban ini terus meroket. Jumlah angka korban pun tak jarang dipolitisir. Sampai kita tidak tahu mana data yang akurat, karena kalkulasi korban sudah kecantol dengan akrobat politik. Terlepas akurat tidaknya data korban tapi satu hal yang pasti, korban sudah eksis dan terus bertambah. Ini salah satu bukti nyata bahwa para pemimpin kita memang belum punya tekad yang serius menyelamatkan nasib anak-anak gizi buruk ini. Apalagi, kebanyakan korban gizi buruk begitu akrab dengan keluarga miskin, kurang berpendidikan, dan tidak mengerti apa itu hidup sehat dan lain sebagainya.Situasi batas inilah yang menyeret mereka tidak berdaya. Siapakah yang memedulikan nasib mereka? Mau mengemis bantuan ke samping, ke belakang, ke depan tapi semua tetangga, kurang lebih tertimpa nasib yang sama. Sama saja menggantung harap pada akar yang lapuk. Satu-satunya harapan mereka adalah pemerintah. Pemerintah adalah 'kepalanya' rakyat. Fungsi kepala manusia sama persis dengan fungsi kepala (baca: pemimpin) pemerintahan. Kepala kita diberi dua mata, dua telinga, dua lobang hidung, dua otak kiri-kanan. Artinya, dengan kesempurnaan indrawi kepala, posisinya lebih tinggi berfungsi untuk mengatur tatanan tubuh agar berjalan secara maksimal.Begitupun eksistensi pemimpin dalam arti sesungguhnya adalah 'kepalanya' rakyat. Sebagai kepala, ia harus mampu berdiri sama tegak, duduk sama rendah dengan rakyat, untuk mengatur tatanan sosial secara optimal. Ia melindungi dan mengupayakan keselamatan rakyat dalam situasi emergensi sekritis apa pun. Kita sadar bahwa ada banyak banyak persoalan yang telah menyedot energi pemimpin kita. Tahun 2008, NTT sibuk dengan suksesi politik beruntun, mulai dari suksesi pemilihan gubernur sampai pemilihan bupati. Pusing tiada duanya. Sementara tahun 2009, kita sibuk dengan pemilu presiden, tentu lebih heboh. Bukan tidak mungkin, persoalan gizi buruk akan tinggal menjadi 'riak-riak kecil' yang bisa terlupakan. Jangan memberi kesan, pesta politik jauh lebih penting daripada penyelamatan korban gizi buruk yang sedang berada di depan pelupuk mata kita. Pemerintah sebaiknya peka terhadap persoalan emergensi yang sedang mendekap rakyat. Nilai emergensitas itu sangat ditakar oleh impak kritikal penderitaan. Kalau korban gizi buruk sudah lebih dari 66.685 orang, itu bukan lagi penyakit biasa tapi itu sudah terkategori 'bencana' atau kejadian luar biasa. Mengapa? Karena, selama ini kita sering melihat perspektif korban sebagai korban penyakit biasa. Implikasinya, cara dan solusi yang kita berikan juga biasa-biasa, bahkan terkesan paling meremehkan. Tak heran, hasilnya seperti apa yang kita saksikan sendiri sekarang, jumlah korban terus melambung. Dengan mendifinisikan secara tepat, situasi korban dalam perspektif 'bencana' maka akan membantu mindset dan attitude kita untuk bereaksi cepat, tepat dan efektif. Penderitaan korban gizi buruk di NTT sama halnya nasib para korban gempa bumi atau bencana alam, yang pernah menghantam beberapa belahan nusa Flobamora ini. Korban jiwa berjatuhan. Padahal, semuanya masih bisa diantisipasi sedini mungkin. Hanya bedanya, korban gizi buruk menyerang dan merenggut korban satu persatu dalam barisan antrean yang panjang. Tapi, kalau jumlah korban dihitung-hitung maka jumlah korban gizi buruk boleh jadi lebih banyak daripada korban dissaster yang pernah menghempas kita. Lima korban anak gizi buruk dari Rote Ndao baru-baru ini, hanyalah gunung es yang mengindikasi bahwa penyakit gizi buruk di daerah kita memang sudah pada level parah. Inilah realitas critical point yang perlu mendapat concern ekstra dari pemimpin kita. Situasi emergensitas terindikasi oleh berjejernya barisan para korban yang sudah dan sedang menuju liang lahat. Pada umumnya, para korban adalah anak-anak balita, yang tidak mengerti apa-apa akan destini kehidupan mereka. Kalau saja, mereka disuruh untuk memilih: apakah mau dilahirkan di wilayah gersang seperti NTT ini atau tidak, mungkin saja mereka memilih untuk tidak memilih dilahirkan. Mengapa? Karena, anak-anak ini dilahirkan secara miskin dan dibesarkan pula secara miskin. Selain keluarga miskin melarat, pemerintah juga pelit hati untuk mengurus nasib mereka. Padahal, anak-anak ini menjadi tiang penyangga nasib NTT ini ke depan. Dari sekian anak-anak ini, ada banyak potensialitas yang mereka miliki untuk menyangga keberlanjutan NTT ini melalui prestasi, talenta dan kecerdasan mereka. Mungkin saja, ada di antara mereka yang genius di bidang pertanian, kelautan, hightech, bahkan astronot sekalipun. Tapi, sayangnya kita tak peduli dengan nasib mereka sekarang. Semua talenta, kecerdasan dan prestasi mereka, kita kuburkan pagi-pagi dengan ketidakpedulian. Itu berarti secara tidak langsung kita menggiring NTT ini memasuki babak gelap yaitu babak lost generation, yang memangkas berlahan-lahan masa depan propinsi ini. Maka, benar kata Stiglitz, lebih baik menjadi sapi piaraan di Eropa daripada menjadi anak-anak di negara miskin, apalagi menjadi anak-anak NTT.Sebelum korban gizi buruk terus berjatuhan, sebaiknya pemerintah mengambil langkah antisipatif signifikan. Paling tidak, kita berupaya menyelamatkan masa depan NTT tercinta ini, dengan menyelamatkan balita yang sedang bergulat dengan penyakit gizi buruk ini. Kita sering terbentur dengan masalah dana. Apalagi, kita hanya berpasrah dengan proposal dana ke Jakarta. Kalau dana itu belum dikabulkan atau dicairkan maka entah sampai kapan kita menunggu dan menunggu. Penyakit menunggu ini (cargo cult mentality) menurut Sosiolog Eri Seda, menciptakan kesadaran palsu (false consciousness). Kita pasrah miskin, bodoh dan tidak bisa apa-apa, selain mengandalkan orang lain untuk mengubah keadaannya. Sampai kapan? Mengapa kita tidak bisa berbuat lebih? Dana dari pusat digulir, lalu kita ramai-ramai beli biskuit dan susu, kemudian dibagi-bagikan kepada keluarga anak-anak korban gizi buruk. Bagi-bagi susu dan biscuit tidak menyentuh persoalan sebenarnya. Mengapa kita tidak bisa lebih kreatif memasak sumber makanan yang merupakan hasil keringat kita sendiri. Daerah kita bisa tanam jagung dan umbi-umbian. Manfaatkan produksi lokal ini.Kita bisa mengelola jagung dan umbi-umbian menjadi makanan yang berenergi bukan sekadar menyuplai biskuit dan susu. Potensi laut kita juga masih perawan. Lautan kita kaya akan banyak ragam ikan. Mengapa kita tidak bisa mengerahkan kekuatan daerah untuk memanfaatkan potensi laut ini? Masyarakat diberi pendidikan gratis untuk terjun bekerja sebagai nelayan. Dengan demikian, selain kita dapat jual ikan dan kita sendiri bisa makan ikan sebagai makanan yang bergizi. Dengan demikian dana bantuan dari pusat dikonsentrasikan kepada biaya penelitian. Penelitian terhadap penyakit gizi buruk ini sangat diperlukan. Agar kita tahu data dan formula yang akurat dan selanjutnya dapat menentukan kebijakan yang tepat. Dana ini juga bisa dipakai untuk biaya datangkan dokter ahli dengan pengobatan gratis kepada rakyat miskin. Bukan untuk beli biskuit, susu dan permen, lalu habis perkara.Inilah yang dinamakan kreatif. Seorang pribadi kreatif berjiwa optimisme. Ia melihat kesempatan dalam setiap kesulitan bukan sebaliknya melihat kesulitan di setiap kesempatan (Winston Churchil, mantan Perdana Menteri Inggris). Orang kreatif bukan hanya tahu mengonsumsi, tapi selalu eksplorasi dengan kreativitas baru. Lucuti mental konsumtif kita. Dari laporan Sri Hartati Samhadi di Kompas (23/12/06) tentang busung lapar di NTT menyatakan, menggerojok dana ke NTT seperti 'menggerojok air' ke padang pasir. Padahal, setiap tahun dana yang digelontorkan ke NTT mencapai Rp 4,5 - Rp 5 triliun. Namun kesejahteraan tak membaik. Mengapa? Karena, kita tidak punya komitmen sejati untuk mengelolah uang itu secara efektif dan tepat sasar. Oleh karena itu, marilah kita bahu-membahu menanggunglangi penyakit gizi buruk di NTT dengan komitmen yang serius. Korban gizi buruk adalah bencana, bencana lost generation NTT!
==================================================================
KOMENTAR WEB ORGANIZER :
=========================================
RUPA BURUK POLITIK ,GIZI BURUK BALITA mengancam masa depan NTT.
GIZI BURU juga melanda politikus dan Balita. POLITIKUS kurang GIZI.Apa yang dapat di harapkan dari politikus yang kurang gizi????.Kita harus percaya BERKERJALAH DAHULU selebihnya AKAN DI TAMBAHKAN,bukan di kalikan atau dikurangi namun yang pasti akan di bagi dan mendapatkan bagian (BAIK/BURUK).
===================================================================
*Parpol dan apatisme atas pilkada
Oleh- Laurensius Sayrani Staf pengajar Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP UNDANA, Kupang; Koordinator Bengkel APPeK (Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung)----------------------------
DINAMIKA politik lokal di NTT saat ini memasuki babak baru. Pilkada untuk memilih gubernur dan Wakil Gubernur NTT lima tahun ke depan telah dimulai. Pilkada mempunyai esensi sebagai suatu mekanisme seleksi ketat oleh rakyat untuk memilih dan menakar dengan cerdas calon-calon pasangan dalam usaha mencari pemimpin yang the best of the best. Namun, mesti dipahami bahwa pilkada tidak berproses dalam ruang hampa. Dalam realitasnya, pilkada dipengaruhi oleh berbagai prasyarat dan faktor pengganggu yang dapat saja membiaskan demokrasi menjadi demo-crazy. Pilkada NTT saat ini sedang dalam proses di mana partai politik (Parpol) di tingkat lokal sedang dan sudah merekrut kandidat untuk bersaing dalam pemilihan nantinya. Proses ini terasa begitu penting diawasi karena di sini menjadi awal seseorang dipilih untuk bersaing dalam pilkada. Parpol memegang posisi teramat strategis dalam tahapan ini. Parpol memang mempunyai hak istimewa sebagai pintu masuk bagi siapa pun yang ingin menjadi kepala daerah. Dengan demikian kita patut memberi awasan atas proses ini dan selanjutnya menentukan sikap atas proses ini.Soal peran parpolTampilan peran parpol bisa dimulai dengan mengkritisi militansi parpol atas idiologi yang diusungnya. Idiologi parpol merupakan cita-cita, orientasi, pilihannya atas sejumlah soal, dan sebagainya yang kemudian menjadi identitas dan karakter parpol tersebut. Sisi lain dari parpol yang beridiologi kuat adalah pragmatisme. Kita mesti mengakui bahwa parpol di tingkat lokal masih dicirikan dengan karakter pragmatis. Dan ini menjadi ciri dominan parpol di tingkat lokal. Pragmatisme dicirikan dengan tampilan parpol yang bergerak atas dasar kepentingan praktis, subyektif, bersifat jangka pendek dan tentatif. Pragmatisme menjadi dasar membangun koalisi dan menentukan kandidat. Koalisi pragmatis paling tidak ditunjukkan dalam dua hal. Pertama, tidak jelasnya koalisi antarparpol yang kecenderungannya dapat saja berbeda antara parpol di tingkat pusat dan daerah; berbeda dalam pemilu presiden dan wakil presiden; serta berbeda pula pemilihan gubernur dan wakil gubernur maupun bupati dan wakil bupati. Lalu apa patokan koalisinya? Rakyat kemudian sulit menentukan apa sesungguhnya isu pokok perjuangan parpol yang kemudian akan terjabar ke program pembangunan yang lebih operasional.Kedua, tidak kuatnya idiologi parpol memungkinkan maraknya calon yang lompat pagar dari satu parpol ke parpol lain seenaknya saja. Pada suatu kesempatan pemilihan, para kandidatnya adalah "musuh' tetapi hari bisa saja menjadi satu visi, satu suara dan sati hati. Jika demikian akan kita sulit menentukan apa sebenarnya cita-cita dan arah perjuangan parpol atau seorang elit politik lokal. Anggapan bahwa di politik tidak ada yang kekal kecuali kepentingan seolah-olah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan baik adanya. Ketegasan visi dan arah perjuangan dianggap slogan omong kosong. Oligarki parpol dalam pilkada menjadi perilaku ikutannya. Oligarki parpol merupakan dampak jika suatu parpol tidak dibangun secara demokratis dengan standar yang jelas, transparan dan partisipatif. Elit parpol menjadi begitu dominan dalam menentukan kandidat. Lobi-lobi dalam "kotak hitam" ciri negosiasi elite parpol. Mekanisme rekrutmen kandidat tidak didasarkan atas prinsip partisipatif dan transparan. Kita bisa menyaksikan maraknya dukungan satu parpol kepada lebih dari satu calon yang terjadi di beberapa pilkada kabupaten. Cabut mencabut dukungan atas kandidat hingga urusan duit antarelite dengan gamblang dipertontonkan. Negosiasi elite dan gilirannya konflik antarelite parpol mewarnai dengan indah tampilan parpol berebut dominasi tanpa mekanisme yang jelas.Kondisi ini sebetulnya juga menunjukkan ketiadaan relasi antara parpol dengan rakyatnya (konstituen). Boleh jadi parpol sungguh tidak mengenal dengan baik siapa dan di mana konstituennya. Relasinya keduanya cuma relasi manipulatif, rakyat sebatas sebagai mesin suara saja. Konstituen tidak secara dini diajak menentukan siapa yang pantas dicalonkan melalui suatu parpol. Parpol pun dipastikan tidak mengenal secara baik kebutuhan dan permasalahan rakyat secara memadai. Parpol tidak secara dini menjadi wahana untuk mendiskusikan soal rakyat secara intens dan mendalam. Jika demikian siatuasinya, kandidat yang direkrut pun hadir dengan visi dan misinya masing-masing, penuh warna-warni, kadang seragam antarkandidat yang satu dengan lain dalam parpol yang berbeda. Ini menjadi indikasi awal bahwa visi pembangunan yang jelas sedang dalam posisi abu-abu. Dapat disimpulkan bahwa visi atau arah perjuangan kandidat hanya sekadar basa-basi politik, dan bukan menjadi perjuangan parpol dan kandidat. Jika demikian situasinya, maka jangan harap akan muncul pemimpin hasil pilkada yang berkarakter dalam membangun NTT. Yang ada adalah pemimpin dengan visi sebagai konsep di atas kertas, menjalani fungsi pemimpin sebagai rutinitas, tanpa inovasi dan menjalani kepemimpinannya apa adanya.Kinerja pemimpin di tingkat lokal saat ini cukup membuat kita "was-was" atas nasib pembangunan NTT ke depan, jika kita gagal memilih pemimpin yang berkualitas. Ada kepala daerah yang gencar mempromosikan menanam jarak karena itu menjadi program pemerintah pusat dan karena ada dananya. Namun hasilnya banyak anakan yang mati dan tak terurus. Ada juga yang menanam ribuan ubi dengan dana miliaran rupiah tetapi hasilnya cuma puluhan persen dengan harga jual yang sangat rendah. Busung lapar pun makin menjadi-jadi yang hanya membuat sang pemimpin gagap dan basa-basi mengeluarkan surat keputusan sebagai kejadian luar biasa. Ini menjadi beberapa contoh kecil jika pemimpin tidak memiliki visi yang kuat tetapi hanya mampu menjalani rutinitas tanpa makna.Apatis : suatu perlawananJika demikian adanya proses awal pilkada saat ini, maka bagaimana kita mesti memaknai proses ini? Memaknai pilkada dengan sikap apatis -- demikian sikap beberapa orang yang saya rekam dalam berbagai diskusi kecil, baik di Kampus FISIP maupun di Bengkel APPeK. Ketika saya melihat latar belakang beberapa orang tersebut, saya dapat memastikan bahwa apatis yang mereka pilih bukan sebagai suatu kepasrahan, tetapi ini adalah pilihan yang didasarkan atas situasi tidak demokratis. Dengan demikian sikap apatis ini menjadi simbol perlawanan rakyat atas siatuasi yang mereka anggap tidak demokratis tadi. Dalam perspektif ini, sikap apatis menjadi sesuatu menarik untuk diapresiasi dan didiskusikan. Dalam teori politik, partisipasi politik menjadi bagian penting dibicarakan. Huntington misalnya mengaitkan antara tingkatan partisipasi politik dengan modernisasi politik yang terjadi. Lester Mibrath lebih lanjut dalam skema jenjang partisipasi politik menganggap bahwa sikap apatis adalah jenjang yang terendah dari jenjang spektator, transisional dan gladiator. Dengan demikian, sikap apatis dalam pilkada adalah pilihan minor di tengah arus utama pemikiran politik dalam mendorong demokrasi. Lalu bagaimana sikap apatisme mesti dipahami. Apatisme menjadi pilihan menarik yang patut dicermati karena ini menjadi suatu perspektif baru dalam memahami dan memberi sikap atas situasi empirik politik (pilkada) saat ini. Apatisme menjadi counter teori atas situasi tidak normal yang tidak memadai dijelaskan dengan teori arus utama. Apatisme bagi mereka adalah refleksi kesadaran rakyat jelata yang muncul dalam sikap penolakan atas situasi (pilkada) dengan tidak mengambil bagian secara aktif dalam proses itu. Apatis adalah pilihan politik yang rasional bagi kelompok ini. Walaupun mungkin hanya sebagian kecil saja yang memilih sikap ini, namun sikap apatis sesungguhnya menjadi sebuah ironi dan sinisme yang dibuat sebagai ejekan yang menohok atas perilaku elite. Sikap apatis sekaligus sebagai bentuk delegitimasi atas kekuasaan yang hendak dibangun. Sikap apatis menjadi kekuatan yang dapat merapuhkan sendi-sendi kekuasaan yang terbangun secara arogan manipulatif.Apatis menjadi pilihan di tengah ketiadaan mekanisme yang adil dan demokratis antara elite politik dan rakyat. Relasi yang terbangun adalah adalah relasi elite sebagai kelas penguasa dan rakyat sebagai kelas yang dikuasai-meminjam istilah mosca. Dalam konteks relasi ini, rakyat dituntut partisipasinya demi langgengnya kekuasaan. Partisipasi sekedar menjadi menjadi alat melegitimasi kekuasaan kelas penguasa.Pilihan atau bersikap apatis ini menjadi penolakan realistis jika kita sungguh dihadapkan pada proses pilkada "ketoprak humor" yang hanya penuh lawakan dan tipu-tipuan. Pilkada yang menjadi panggung paling gamblang dalam menampilkan tokoh-tokoh yang pandai bersandiwara, memainkan peran yang mampu membuat penonton (rakyat) tertawa terbahak-bahak, menangis secara silih berganti. Pilkada patut disebut hanya sebagai panggung ketoprak humor, ketika prosesnya hanya sekadar suatu proses formalistis; sesuatu yang berjalan tanpa spirit demokratis; dan tidak menjadi medan kedaulatan rakyat dalam makna yang substantif, tetapi menjadi panggung manipulatif terhadap rasionalitas dan nurani.Kita hanya berharap bahwa parpol lokal mesti berbenah diri dalam sisa waktu yang tersisa. Tunjukkan dengan jelas arah perjuangan dan komitmennya atas soal rakyat. Kembangkan model organisasi yang demokratis yang memungkinkan rakyat dapat berpartisipasi secara aktif dalam pilkada. Dengan demikian, kita juga mesti mendorong agar rakyat terutama yang memilih sikap apatis untuk menjadi hal ini sebagai langkah awal perjuangan untuk lebih aktif mengembangkan model partisipasinya jika memang ruang yang demokratis untuk rakyat tersebut dibuka. *
===================================================================
KOMENTAR WEB ORGANIZER:
========================================
Berbicara koalisi partai maka ada satu fakta dan kisah menarik seorang pelukis.Bicara urusan melukis maka jauh dari dengan apa yang disebut cerdik pandai.Karena yang bermain adalah perasaan.Persaan yang telah teruji dan terbukti dan dapat dibuktikan dengan tampilan akhir dari kepandaian/kelihaian menarik garis-garis tegas,garis halus dan bahkan garis maya,garis tegak,garis miring,garis melingkar dengan gradasi dan perpaduan warna warna pada kanvas.Ini mampu mengundang kepuasan,penasaran dan terkadang dapat saja dan bahkan teramat sering menjadi telaahan ilmiah.Perpaduan/perkawinan berbagai jenis serta konsentrasi (kuantitas/kadar) warna kata kuncinya.KOMLEMENTARY COLOR/WARNA KOMLEMENTER dari hasil perpaduan berbagai WARNA KEPENTINGAN.Kepentingan pribadi atau kepentingan parpol,kepentingan etnis,kepentingan agama dan kepentingan yang mungkin saja masih tersembunyi dan disembunyikan?. Politikus kawakan,pandai dan mampu membaca peta kepentingan dan peta jaman (paling tidak dalam konteks Lokal).
Warna kepentingan komplementer sebagai hasil dari perpaduan berbagai parpol di setiap strata pusan,propinsi dan daerah tingkat dua ini pada akhirnya harus bisa bersinergi positif dengan komplementer kepentingan politik Nasional.Mamapukah para politikus/elit mengasah intuisi politiknya sebagai mana TUKANG LUKIS????? Yang jelas kita saat ini sedang menanti dan mengimpikan seorang pelukis ulung/pelukis politik.MELUKIS NTT BARU YANG BENAR BENAR BARU.
===================================================================

Tidak ada komentar: